Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah - Etos Kerja Dalam Islam

Makalah (Karya Tulis Ilmiah) Tentang Etos Kerja Dalam Pandangan Al-Quran

Makalah Tentang Etos Kerja dalam Al-Quran

Sobat Radhitisme, berikut ini makalah tentang Etos kerja dalam perspektif islam (al-quran dan hadits). Semoga karya tulis ini dapat membantu pembaca sekalian dalam menyelesaikan tugas makalah, skripsi, atau karya tulis ilmia yang lainnya. Simak artikel lengkap makalah tentang etos kerja berikut ini :

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang

Bekerja merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga para ekonom barat, seperti Adam smith, Karl Marx, dan Abraham Maslow memiliki teori tentang kebutuhan ini.

Thohir Luth mengutip pendapat Adam Smith, dalam bukunya “The Wealth of Nation, “kita bisa makan bukan karena kebaikan si tukang roti, tukang daging, atau tukang minuman, melainkan karena seifat memeintingkan diri sendiri di dalam diri mereka. Kita bukan mengharap cinta mereka terhadap orang lain, melainkan cinta mereka pada dirinya sendiri”.

Karl Marx sering mengkampayekan teori “Three Satisfictions”. Teori tersebut menyatakan bahwa manusia hanya mempunyai tiga kebutuhan, yaitu sandang-pangan, papan, dan kebutuhan seks. Sedangkan agama menurutnya adalah “ The opium of The People” (candu bagi masyarakat). Adapun Abraham Maslow dengan teori “Five Satisfictions” (lima kebutuhan) manusia, yaitu fisiologik, rasa aman, sosial, ego, dan kebutuhan realisasi diri (self actualization).

Menanggapi teori-teori di atas Thohir Luth mengatakan, “Mereka tidak memasukan agama sebagai kebutuhan dasar sangatlah wajar, karena mereka tidak mengakui bahkan sangat membenci agama. Dengan pengertian lain, sebenarnya mereka meenginginkan agar manusia hidup sebebas-bebasnya seperti makhluk lain tanpa kendali agama.Padahal konsep Islam tentang kebutuhan manusia sangat sederhana, dapat difahami oleh semua lapisan masyarakat. Konsep ini hanya mengenal empat istilah, yaitu halal, baik, haram, dan mubazir terhadap apa saja yang dibutuhkan dan bagaimana cara mendapatkannya.".

Bagaimana memenuhi kebutuhan dengan cara yang halal, baik; bisnis, kerja dari tangan sendiri, dan tidak haram; tidak menipu, tidak riba, gharar, tidak mubazir dan sebagainya.

Husain Syahatah mengatakan, terjadinya kerusakan moral dan hilangnya kepercayaan pada para pimpinan mengakibatkan kurangny etos kerja dan kegagalan bagi para karyawan. Beberapa penelitian membuktikan, bahwa prilaku yang tidak sopan dari pihak pimpinan dan karyawan adalah salah satu sebab kegagalan pada perusahaan. Prilaku tersebut dapat menimbulkan reputasi negatif pada perusahaan dan juga dapat menimbulkan sanksi, baik itu sanksi yang berupa moral (dari relasi bisnis dan masyarakat) maupun sanksi yang berupa hukum.

Lebih lanjut ia mengatakan, kuatnya pemberdayaan etika yang unggul dapat membawa nama baik perusahaan. Yang pada gilirannya, akan mengarah kepada bertambahnya keuntungan dan produktifitas yang pesat pada perusahaan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Larry Axlineg di Amerika yang membedakan antara perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tunduk kepada responsibilitas social, dengan perusahaan yang tidak menjalankan prioritas akan etika ini. Hasilnya, keuntungan rata-rata pertahunnya pada perusahaan pertama berkisar antara 11%, sementara pada perusahaan kedua hanya berkisar antara 6%. Akhirnya study tersebut menyimpulkan bahwa: “good ethics: good business” (etika yang baik adalah bisnis yang baik)”.

Dalam kaitan etika ini Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur (benar).” (QS. At-Taubah: 119).

Perintah Allah dalam ayat di atas, agar manusia bertakwa dan bersama orang-orang jujur. Kata jujur disini bisa diartikan, bahwa Allah menginginkan agar semua manusia berlaku jujur dalam segala sendi kehidupan; dalam berbicara, bersikap, bekerja dan lain sebagainya.

Ibn Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, berbohong adalah lambang dan syiar penduduk neraka. Sedangkan jujur adalah lambang dan syiar penduduk surga. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda:

عليكم بالصدق ; فإنه يهدي إلى البر ، وإن البر يهدي إلى الجنة ، وإن الرجل ليصدق حتى يكتب عند الله صديقا ، وإياكم والكذب ; فإن الكذب يهدي إلى الفجور ، وإن الفجور يهدي إلى النار ، وإن الرجل ليكذب حتى يكتب عند الله كذابا

“Hendaklah kalian selalu berusaha menjadi orang yang benar dan jujur, karena kejujuran akan melahirkan kebaikan-kebaikan (keuntungan-keuntungan). Dan kebaikan akan menunujukkan jalan ke surga. Jika seseorang terus berusaha menjadi orang yang jujur, maka pasti dicatat oleh Allah sebagai orang yang selalu jujur. Jauhilah dusta dan menipu, karena dusta itu akan melahirkann kejahatan dan kejahatan akan menunujukkan jalan ke neraka. Jika seseorang terus-terus berdusta, maka akan dicatat oleh Allah sebagai orang yang selalu berdusta.” (HR. Bukhari).

Di Jepang, keteladan Kaisar yang bisa diteladani oleh para menteri dan para pejabat lainnya memegang peranan penting. Sehingga di jepang, budaya korupsi tidak terlihat mencolok, dan kejujuran dapat dibanggakan. Jika ada kegagalan yang terjadi, akibat dari kebijakan pejabat tertentu, maka pejabat yang bersangkutan akan mengundurkan diri.

Sedangkan di Indonesia, bukan lagi suatu hal yang aneh, jika suatu perusahaan memberlakukan; jika waktu shalat tiba semua karyawan harus berhenti dari semua kegiatan. Atau sebelum bekerja selalu diawali dengan apel pagi dengan tilawah al-qur’an dan kegiatan lain-lainnya, yang dinilai sebagai bagian dari bisnis islami yang telah diterapkan.

Namun artikulasi empiris ekonomi islam, seperti di atas dalam tataran empiris bisnis hanya dijadikan sebuah kode etik belaka. Padahal ethic (etika) hanyalah sebagian dari komitmen man of Islamic economic, dimana komitmen keseluruhannya adalah akidah sebagai landasan filosofis, idealisme dan paradigma yang dimiliknya. Sedangkan syariah yang melatarbelakangi rule of ethic dari bisnis itu sendiri. Dan akhlak sebagai sebuah cerminan goal tindakan yang nantinya akan dievaluasi dan dipertanggungjawabkan atas amanah dan perilaku yang dilakukan.

Dengan demikian, bila aturan yang ditetapkan dalam empiris bisnis benar-benar sesuai dengan akidah, syariah, dan kemudian diaplikasikan lewat akhlak mulia, serta selalu ada evaluasi dan yakin bahwa semuanya akan dipertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Maka ekonomi Islam yang bersifat rahmatan lil alamin itu, akan benar-benar terwujud dan dapat terlihat di segala bidang pekerjaan bukan hanya di dunia bisnis.

Untuk itulah tidak mengherankan bila Allah mengancam dengan keras para pekerja, terutama para pelaku bisnis yang curang. Sebagaimana firman-Nya:

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ,الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ,وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ, أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ, لِيَوْمٍ عَظِيمٍ, يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang[1561], (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?.” (QS. Al-Muthaffifin: 1-6).

Allah Ta’ala memulai Surah ini dengan suatu ancaman bagi orang–orang yang curang dalam timbangan (al-muthaffifin) dengan kalimat “wail” artinya celakalah, suatu indikasi bahwa mereka akan mendapatkan azab yang pedih. Siapakah al-muthaffifin dan mengapa diancam demikian? Mereka adalah orang-orang yang jika menerima takaran mereka minta ditambah dan jika mereka menimbang atau menakar mereka mengurangi. Merekalah orang-orang yang curang dalam jual beli, mereka tidak beriman dengan adanya hari kiamat, hari kebangkitan, hari yang sangat besar, hari pertanggungjawaban atas apa yang diperbuat.

Dengan demikian dapat difahami betapa universalnya syariat Islam. Sekecil apa pun aktifitas umatnya akan diperhatikan, termasuk bagaimana etika yang benar dalam bekerja. Bekerja bukan sekedar sarana untuk memenuhi kebutuhan melainkan juga sebagai ibadah kepada Allah Ta’ala.

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana etos kerja Islam dalam pandangan Al-Qur’an dan Hadits?.
  2. Bagaimana implementasi etos kerja Islam dalam ekonomi mikro?.
BAB II Kajian Teoritis

A. Definisi Etos

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “etos” di definiskan sebagai “pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial”. Sedangkan “etos kerja” didefinisikan sebagai “semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok”.

B. Definisi Kerja

Sedangkan kata “kerja” sendiri didefinisikan sebagai “kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu yg dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian”.

Islam mengatur setiap persoalan, termasuk memenuhi kebutuhan hidup (kerja), dengan asas agama (religiusitas). Islam juga memadukan segala nilai material dan spiritual ke dalam satu keseimbangan menyeluruh agar memudahkan manusia menjalani kehidupan yang telah ditentukan oleh rahmat dan kasih sayang Allah di akhirat nanti.

Dalam sebuah hadits Ka’ab bin ‘Ajrah R.a.:

جاء في حديث كعب بن عجرة رضي الله عنه قال : مر على النبي صلى الله عليه وسلم رجل ، فرأى أصحابه من جلده ونشاطه ما أعجبهم ، فقالوا : يا رسول الله ، لو كان هذا في سبيل الله ؟ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن كان خرج يسعى على أولاده صغاراً فهو في سبيل الله ، وإن كان خرج يسعى على أبوين شيخين كبيرين فهو في سبيل الله ، وإن كان خرج يسعى على نفسه يعفها فهو في سبيل الله ، وإن كان خرج يسعى رياءً ومفاخرة فهو في سبيل الشيطان

Ada seorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah Shollallahu Alaihi Wassalam. Orang tersebut sedang bekerja keras, bekerja dengan giat dan tangkas. Para sahabat beliau pun bertanya: “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja seperti orang itu digolongkan sebagai jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya. Mendengar itu Rasulullah pun menjawab, kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah; kalau ia bekerja karena riya dan sombong, itu fi sabil syaitan” (HR. Ath-Thabrani).

Yang dimaksud dengan bekerja adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan, baik dilakukan secara perorangan ataupun secara kolektif, baik untuk pribadi ataupun untuk orang lain (dengan menerima gaji). “Orang lain” ini bisa majikan, perusahaan swasta, atau bisa juga lembaga pemerintah. Pekerjaan itu bisa dilakukan dalam perkebunan, perindustrian, atau perdagangan, baik pekerjaan white collar (kerah putih) ataupun blue collar (buruh kasar).

Kerja telah terjadi semenjak manusia mendiami bumi, karena ia merupakan suatu hal yang primer dalam kehidupan. Nabi Adam, bapak sekalian manusia adalah manusia pertama sebagai pekerja. Turunnya Adam ke bumi merupakan skenario yang telah dirancang oleh Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Dengan tujuan agar Adam dan anak cucunya memakmurkan bumi. Dan tujuan akhir dari itu semua adalah untuk menguji, siapakah yang terbaik pekerjaannya sehingga mereka dikembalikan ke alam yang abadi. Firman Allah:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2).

Dengan demikian, Etos kerja adalah semangat hidup, termasuk semangat untuk kerja, menuntut ilmu dan meningkatkan keterampilan agar dapat membangun kehidupan yang lebih baik di masa depan. Manusia tidak dapat memperbaiki hidupnya tanpa semangat kerja, pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang pekerjaan yang ditanggani. Dan bekerja adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan.

BAB III Pembahasan

A. Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Etos Kerja

1. Surah At-Taubah Ayat 105

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105).

Ayat ini merupakan peringatan keras terhadap orang-orang yang menyalahi perintah-perintah agama dan tidak jujur, bahwa amal mereka itu pun nantinya akan diperlihatkan pula kepada Rasul dan kaum Muslimin lainnya kelak di hari kiamat. Dan dengan demikian akan tersingkaplah aib mereka, dan ternyata amal-amal kebajikan mereka amat sedikit, dan sebaliknya dosa dari kejahatan-kejahatan mereka lebih banyak.

Bahkan di dunia ini pun akan diperlihatkan pula kurangnya amal sholeh mereka dan banyaknya kejahatan yang mereka lakukan. Bahkan dalam suatu riwayat disebutkan pula bahwa amalan orang-orang yang hidup dipertontonkan kepada orang-orang yang telah mati, yaitu dari kalangan kaum keluarga dan sanak famili yang ada di alam barzakh. Dengan wafatnya seseorang maka ia dikembalikan ke alam akhirat. Di sana Allah akan memberitahukan kepada setiap orang tentang hasil dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya selagi ia di dunia dengan cara memberikan balasan terhadap amal mereka. Kebaikan dibalas dengan kebaikan, dan kejahatan dibalas dengan azab dan siksa.

Ibn Katsir mengutip pendapat Mujahid yang mengatakan, “Ayat ini merupakan ancaman dari Allah Ta’ala terhadap orang-orang yang menyelisihi perintahNya. Amalan mereka akan dihadapkan kepadaNya, Rasul dan kaum mukminin. Hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil pada hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (QS. Al-Haaqqah: 18).

Sedangkan munasabah (korelasi) antara ayat ini dan dua ayat sebelumnya adalah bahwa setelah pada ayat 103 dan 104, Allah menjelaskan tentang keutamaan dan manfaat sedekah. Kemudian Allah mengajurkan untuk bersedekah dan berjihad bagi mereka yang belum berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Maka, pada ayat 105 Allah memotivasi umat islam untuk giat bekerja.

Amalan manusia akan ditampakkan kepada mereka sendiri dan orang lain semasa di dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wa Sallam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

لو أن أحدكم يعمل في صخرة صماء ليس لها باب ولا كوة ، لأخرج الله عمله للناس كائنا ما كان

“Seandainya salah seorang di antara kalian beramal di dalam batu yang keras dan kokoh yang tidak berpintu dan tidak berlubang, niscaya Allah akan menampakkan amalannya kepada manusia sebagaimana adanya.” (HR. Ahmad: 3/28).

Lebih lanjut Ibnu Katsir mengatakan, dalam riwayat yang lemah, amalan orang yang masih hidup ditampakkan kepada orang-orang yang telah meninggal dunia dari kalangan keluarga dan kerabatnya di alam barzakh. Seperti yang dikatakan oleh Abu Dawud ath-Thayalisiy, Shalat bin Dinar telah menceritakan kepada kami, dari al-Hasan, dari Jabir bin ‘Abdillah, dia berkata, Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات ، فإن كان خيرا استبشروا به ، وإن كان غير ذلك قالوا : اللهم ، لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا

“Sesungguhnya amal-amal kalian akan ditampakkan kepada keluarga dan kerabat kalian di alam kubur, apabila amalan baik maka mereka akan bergembira dengannya, dan apabila tidak baik maka mereka akan berkata, “Ya Allah, ilhamkan pada mereka beramal taat kepadaMu.” (Musnad Ath-Thayalisiy:1794).

Imam Bukhari meriwayatkan hadits shahih dari Aisyah R.a.:

إذا أعجبك حسن عمل امرئ ، فقل : اعملوا فسيرى الله عملكم ورسوله والمؤمنون

“Bila engkau kagum dengan bagusnya amalan seseorang maka katakan: Beramallah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (HR. Bukhari: 13/503).

Dalam riwayat shahih lainnya, dari sahabat Anas Ra. bahwa Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

لا عليكم أن تعجبوا بأحد حتى تنظروا بم يختم له ؟ فإن العامل يعمل زمانا من عمره - أو : برهة من دهره - بعمل صالح لو مات عليه لدخل الجنة ، ثم يتحول فيعمل عملا سيئا ، وإن العبد ليعمل البرهة من دهره بعمل سيئ ، لو مات عليه دخل النار ، ثم يتحول فيعمل عملا صالحا ، وإذا أراد الله بعبد خيرا استعمله قبل موته " . قالوا : يا رسول الله وكيف يستعمله : قال : " يوفقه لعمل صالح ثم يقبضه عليه

“Kalian jangan takjub dengan seseorang sehingga kalian melihat bagaimana akhir hidupnya. Sesungguhnya seseorang beramal pada suatu masa dari hidupnya dengan amalan shalih, yang jika dia mati dalam keadaan itu tentu dia masuk surga, kemudian dia berubah beramal dengan amalan keburukan. Dan sesungguhnya seseorang beramal keburukan pada satu masa dari kehidupannya, yang jika dia mati dalam keadaan tersebut tentu dia masuk neraka, kemudian dia berubah melakukan amal kebajikan. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka Dia akan mepergunakannya sebelum matinya. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana Dia mempergunakannya? Beliau bersabda, Dia menunjukinya untuk beramal shalih, kemudia dicabut nyawanya dalam keadaan tersebut.” (HR. Ahmad: 3/120).

Dengan demikian, dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada kaum muslimin yang mau bertobat dan membersihkan diri dari dosa-dosa dengan cara bersedekah dan mengeluarkan zakat, agar mereka melakukan amal-amal saleh sebanyak mungkin.

Di samping itu Allah Swt. juga memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menyampaikan kepada mereka, bahwa apabila mereka telah melakukan amal-amal saleh tersebut maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin lainnya akan melihat dan menilai amal-amal tersebut.

Akhirnya mereka akan dikembalikan-Nya ke alam akhirat, akan diberikannya kepada mereka ganjaran atas amal-amal yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia.

Kepada mereka dianjurkan agar tidak hanya merasa cukup dengan melakukan tobat, zakat, sedekah dan shalat semata-mata melainkan haruslah mereka mengerjakan semua apa yang diperintahkan kepada mereka. Allah akan melihat amal-amal yang mereka lakukan itu sehingga mereka semakin dekat kepada-Nya. Rasulullah juga akan melihat amal-amal tersebut disebabkan doa restu beliau untuk mereka akan semakin bertambah pula amal-amal kebajikan itu sehingga mereka pun akan mengikuti dan mencontohnya pula, sedang Allah swt. memberikan pahala yang berlipat ganda bagi mereka yang dicontoh tanpa mengurangi pahala mereka yang mencontoh.

2. Surah Al-Muthaffifin: 1-6

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ, الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ, وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ, أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ, لِيَوْمٍ عَظِيمٍ, يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (QS. Al-muthaffifin: 1-6).

Dalam ayat ini, Allah melarang pembisnis berdusta, menipu, mengurangi takaran timbangan, mempermainkan kualitas. Sebab hal itu akan menyebabkan kerugian yang sesungguhnya, di dunia dan di akhirat.

Menurut Ibn Katsir kalimat ath-thathfif mempunyai arti: pengambilan sedikit dari timbangan atau penambahan. Maksud dari semua itu adalah kecurangan dalam timbangan. Jadi al-muthaffifiin para pelaku kecurangan tersebut. Karena itulah Surah ini diberi nama Al-Muthaffifin. Rahasia dipilihnya kalimat ini padahal arti sebenarnya sedikit adalah karena yang diambil mereka sebenarnya sedikit sekali, tetapi dosanya besar.

Keberhasilan Rasulullah Saw. dalam berbisnis dapat dijadikan contoh, bagaiman etos kerja bagi seorang muslim. Menurut Didin Hafhiduddin, kesuksesan Rasulullah dalam melakukan bisnis dilandasi oleh dua hal pokok, yaitu kepribadian yang amanah dan terpercaya, serta pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni.

Bagi pebisnis yang jujur, Allah memberikan kabar gembira:

قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya[457]. Itulah keberuntungan yang paling besar". (QS. Al-Maidah: 119).

Rasulullah pun memberikan kabar yang sama:

التاجر الصدوق الأمين المسلم مع الشهداء يوم القيامة

Pedagang muslim yang jujur dan terpercaya akan bersama orang-orang yang mati syahid dalam peperangan kelak di dalam surga.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Musdrak No. 2187).

Dalam riwayat lain:

التاجر الصدوق الأمين مع النبيين والصديقين والشهداء

Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dalam peperangan (kelak di dalam surga).” (HR. Imam Tirmidzi no. 1209).

Ayat 119 dari Surah Al-Maidah, dan dua hadits di atas menerangkan bahwa setiap muslim yang amanah dan jujur akan dikelompokkan pada hari kiamat bersama Al-Abrar (orang-orang yang berbhakti) yaitu para Nabi dan orang-orang yang jujur lainnya.

3. Surah An-Naba’: 11

وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا

“Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” (QS. An-Naba’: 11).

Melalui Surah An-Naba’ Allah Swt. mengabarkan kepada manusia bagaimana kondisi hari pembalasan. Namun sebelumnya Allah bersumpah kepada empat hal: penciptaan bumi dan langit, penyuburan bumi dengan tanaman, penciptaan manusia dari tiada menjadi ada, dan terakhir penghidupan manusia dari mati kecilnya (tidur) untuk bekerja di siang hari.

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Ia menjadikannya (siang) itu terang, bersinar, bersinar supaya manusia bisa bekerja, pergi pulang untuk mencari penghidupan, dengan usaha-usahanya, seperti perdagangan dan pekerjaan lainnya.

Dalam ayat ini pula terdapat dhamir (kata yang tersembunyi). Dengan takdirnya yaitu waktu bekerja (untuk mencari penghidupan). Waktu bekerja ini menyangkut kerja apa saja yang bisa mendapatkan sumber kehidupan berupa; makanan, minuman dan lain-lainya. Maka dalam keadaan ini “معاشا” menjadi ism zaman (kata waktu). Dan ma’asyh juga bisa menjadi masdar yang berarti ‘isy (hidup) dengan menghapus mudhaf.

Pada firman Allah ini terdapat kata “ma’asyh”: berupa masdar (kata dasar) dari: عاش يعيش عيشا ومعاشا ومعيشة وعيشة. Yang berarti mencari penghidupan. Dan maksud dari mencari penghidupan dalam ayat ini, bahwa manusia pada umumnya mencari penghidupan lewat kerja mereka adalah ketika siang hari.

Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid:

“Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dengan demikian, kamu telah membuang-buang waktu dan menyia-nyiakannya.”

Dengan demikian, ayat ke-sebelas dari Surah An-Naba’ ini menjelaskan bahwa pada dasarnya siang hari adalah waktu yang disediakan oleh Allah kepada manusia untuk bekerja, mencari nafkah. Namun kan tetap ada dispensasi bagi orang-orang tertentu, seperti satpam yang mendapat jadwal jaga malam.

4. Surah Al-Mulk: 15

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15).

Setelah Allah menerangkan bahwa Ia maha mengetahui segala perbuatan manusia, baik yang tersembunyi maupun terang-terangan pada ayat sebelumnya. Maka pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Ialah yang berkuasa atas semua isi bumi ini dan Ia jualah yang menundukkan bumi bagi manusia.

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia untuk berjalan, berusaha, mencari kehidupan dengan pekerjaan dan perdagangan ke seluruh penjuru dunia. Namun segala usaha manusia tidak akan berhasil kecuali dengan kemudahan yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Untuk itulah kemudian Allah berfirman: “dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya”. Intinya, apa pun usaha manusia itu tidak akan bisa dipisahkan dengan tawakkalnya kepada-Nya.

5. Surah Al-Baqarah: 168

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-baqarah: 168.

Dalam ayat ini, Allah memberikan kebebasan bagi manusia untuk bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari makanan. Hanya saja Allah memberikan syarat, makanan yang halal dan baik untuk dikonsumsi. Seorang mukmin harus berhati-hati dalam memilih pekerjaan, sebab pekerjaan selain yang diridhai Allah Swt. adalah kebiasaan setan.

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah segala yang halal, selain daripada yang telah diharamkan oleh Allah dalam firman-Nya:

قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-An’am: 145).

Maka selain yang diharamkan dalam ayat ini boleh untuk dikonsumsi, dengan syarat yang kedua yaitu toyyib (bersih dan tidak kotor).

Menurut Abu Ja’far, maksud firman Allah ini adalah, Hai sekalian manusia, makanlah apa saja dari makanan-makanan yang telah Aku halalkan bagi kalian melalui lisan Rasul-Ku (Muhammad), sebab itu lebih baik daripada makanan-makanan yang diharamkan bagi kalian, seperti bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi-yang semuanya itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain nama-Ku.

Karena sifat kehati-hatiannyalah, Seorang mukmin selalu akan memperhatikan batasan-batasan Allah dan menjauhi segala macam larangan-Nya. Ia menolak melakukan dosa dan tidak mau tenggelam dalam segala yang diharamkan.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. menasehati Amru bin ‘Ash:

نعم المال الصالح للرجل الصالح

“Sebaik-baik harta adalah (yang dipegang) oleh seorang yang sholeh” (HR. Ahmad).

Hadits di atas menjelaskan bahwa jika seorang muslim memperoleh harta dengan jalan yang halal, kemudian ia belanjakan untuk keperluan dirinya pribadi dan keluarganya, atau untuk keperluan kebaikan lainnya, maka ia adalah rajul sholih (laki-laki sholeh lagi baik). Hal ini terjadi merupakan implikasi dari ketaqwaanya kepada Allah semata.

6. Surah Al-Qashash: 76

اِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوْسٰى فَبَغٰى عَلَيْهِمْ ۖوَاٰتَيْنٰهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَآ اِنَّ مَفَاتِحَهٗ لَتَنُوْۤاُ بِالْعُصْبَةِ اُولِى الْقُوَّةِ اِذْ قَالَ لَهٗ قَوْمُهٗ لَا تَفْرَحْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash: 77).

Ayat ini merupakan pelajaraan dari Allah Swt. kepada manusia, bagaimana memohon kepada-Nya agar diberikan berbagai macam harta, nikmat dan surga. Kemudian setelah diberikan semua itu, mereka diperintahkan untuk bersyukur kepada-Nya dan agar supaya membelanjakan semuanya itu hanya dalam perbuatan-perbuatan yang diridhoi oleh-Nya.

Menurut Hamka, ayat ini adalah bagian dari nasehat yang diberikan kepada Qarun yang pongah oleh kaumnya dari kalangan Bani Israil. Setelah pada ayat sebelumnya mereka memberinya nasehat, “Janganlah pongah. Allah tidak suka kepada orang yang pongah”.

Mujahid menafsirkan firman Allah: “dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”; janganlah lupa untuk berbuat di dunia dengan perbuatan yang dapat menghindarkanmu dari azab di akhirat. Karena sesungguhnya bagian yang dimiliki oleh manusia di dunia itu adalah apa saja perbuatan baiknya yang bisa menebus akhiratnya. Menurut Sa’di, perbuatan baik yang dimaksud disini adalah sedekah dan silaturrahim. Sedangkan menurut Ali: sehat, kuat, masa muda dan kekayaan.

Hamka mengutip pendapat Ibn ‘Arabi, yang menafsirkan ayat ini lebih sesuai dengan roh Islam: “Jangan lupa bahagianmu di dunia, yaitu harta yang halal”.

BAB IV Implementasi Etos Kerja Dalam Aktifitas Ekonimi Mikro

1. Seorang mukmin harus “Yakin”, bahwa setiap pekerjaan; produksi, distribusi dan konsumsi akan diperlihatkan dan dipertanggungjawabkan. Sebab dalam Surah At-Taubah: 105, Allah mengancam orang-orang yang menyelisih perintah-Nya. Setiap pekerjaan mereka tersebut akan dihadapkan kepadaNya, Rasul-Nya dan kaum mukminin. Dengan ancaman tersebut mereka dihimbau agar semakin dekat kepada-Nya dan yakin dengan pengawasan-Nya. Kemudian Rasulullah Saw. dijadikan uswah hasanah dalam bekerja, serta kaum mukminin sendiri dijadikan patner dalam bekerja sebagai pengawas langsung dalam keseharian mereka.

2. Seorang mukmin harus “Bekerja dengan jujur” terutama dalam proses distribusi. Dalam Surah Al-Muthaffifin: 1-6, Allah melarang pembisnis berdusta, menipu, mengurangi takaran timbangan, mempermainkan kualitas. Sebab hal itu akan menyebabkan kerugian yang sesungguhnya, di dunia dan di akhirat. Dengan larangan ini, dalam bekerja seorang muslim harus bekerja dengan jujur tidak menipu.

3. Seorang mukmin harus “Memaksimalkan waktu kerja yang telah disediakan oleh Allah”. Dalam Surah An-Naba’: 11, Allah menjelaskan bahwa pada dasarnya siang hari adalah waktu yang disediakan oleh-Nya kepada manusia untuk bekerja, mencari nafkah.

4. Seorang mukmin harus “Tawakkal kepada-Nya dalam bekerja”. Dalam Surah Al-Mulk: 15, Allah menerangkan bahwa segala usaha manusia tidak akan berhasil kecuali dengan kemudahan yang diberikan oleh-Nya kepada mereka. Untuk itulah kemudian Allah berfirman: “dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya”. Dengan demikian, apa pun usaha manusia itu tidak akan bisa dipisahkan dengan tawakkalnya kepada-Nya.

5. Seorang mukmin harus “Bekerja dengan pekerjaan yang halal saja”. Dalam Surah Al-Baqarah: 168, Allah memberikan kebebasan bagi manusia untuk bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari makanan. Hanya saja Allah memberikan syarat, makanan yang halal dan baik untuk dikonsumsi. Seorang mukmin harus berhati-hati dalam memilih pekerjaan, sebab pekerjaan selain yang diridhai Allah Swt. adalah kebiasaan setan. Seorang mukmin selalu akan memperhatikan batasan-batasan Allah dan menjauhi segala macam larangan-Nya. Ia menolak melakukan dosa dan tidak mau tenggelam dalam segala yang diharamkan.

6. Dan pada akhirnya, Seorang mukmin harus “Bekerja dalam ekonomi mikro harus menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhiratnya”. Dalam Surah Al-Qashash: 77, Allah Swt. Memberikan pelajaran penting kepada manusia, bagaimana memohon kepada-Nya agar diberikan berbagai macam harta, nikmat dan surga. Kemudian setelah diberikan semua itu, mereka diperintahkan untuk bersyukur kepada-Nya dan agar supaya membelanjakan semuanya itu hanya dalam perbuatan-perbuatan yang diridhoi oleh-Nya.

BAB V Penutup

Kesimpulan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “etos” di definiskan sebagai “pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial”. Sedangkan “etos kerja” didefinisikan sebagai “semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok”.

Dengan demikian, Etos kerja adalah semangat hidup, termasuk semangat untuk kerja, menuntut ilmu dan meningkatkan keterampilan agar dapat membangun kehidupan yang lebih baik di masa depan. Manusia tidak dapat memperbaiki hidupnya tanpa semangat kerja, pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang pekerjaan yang ditanggani. Dan bekerja adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan.

Kemudian Islam mengatur setiap persoalan, termasuk memenuhi kebutuhan hidup (kerja), dengan asas agama (religiusitas). Islam juga memadukan segala nilai material dan spiritual ke dalam satu keseimbangan menyeluruh agar memudahkan manusia menjalani kehidupan yang telah ditentukan oleh rahmat dan kasih sayang Allah di akhirat nanti.

Beberapa ayat al-Qur’an yang membahas tentang etos kerja adalah:

  1. Surah At-Taubah: 105. Dalam ayat ini Allah mengancam orang-orang yang menyelisih perintah-Nya. Dan setiap pekerjaan mereka akan dihadapkan kepadaNya, Rasul-Nya dan kaum mukminin.
  2. Surah Al-Muthaffifin: 1-6. Dalam ayat ini Allah melarang pembisnis berdusta, menipu, mengurangi takaran timbangan, mempermainkan kualitas.
  3. Surah An-Naba’: 11. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa pada dasarnya siang hari adalah waktu yang disediakan oleh-Nya kepada manusia untuk bekerja, mencari nafkah.
  4. Surah Al-Mulk: 15. Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa segala usaha manusia tidak akan berhasil kecuali dengan kemudahan yang diberikan oleh-Nya kepada mereka.
  5. Surah Al-Baqarah: 168. Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Ia memberikan kebebasan bagi manusia untuk bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari makanan. Hanya saja Allah memberikan syarat, makanan yang halal dan baik untuk dikonsumsi.
  6. Surah Al-Qashash: 77. Dalam ayat ini Allah Swt. Memberikan pelajaran penting kepada manusia, bagaimana memohon kepada-Nya agar diberikan berbagai macam harta, nikmat dan surga. Kemudian setelah diberikan semua itu, mereka diperintahkan untuk bersyukur kepada-Nya dan agar supaya membelanjakan semuanya itu hanya dalam perbuatan-perbuatan yang diridhoi oleh-Nya.

Demikianlah di antara firman Allah Swt. tentang etos kerja. Melalui ayat-ayat ini, Allah menerangkan bagaimana semestinya etos kerja seorang muslim. Pekerjaan apa pun dalam proses ekonomi mikro diperbolehkan oleh-Nya. Asalkan tetap memperhatikan syariat-Nya, bahwa setiap pekerjaan itu akan disaksikan oleh-Nya, Rasul-Nya dan orang mukmin lainnya, tidak boleh menipu dan curang dalam bekerja, selalu memperhatikan dan memaksimalkan waktu, tawakkal kepada-Nya dalam bekerja. Mencari pekerjaan yang halal saja, dan tidak lupa bersyukur kepada-Nya serta membelanjakan hasil kerjanya hanya dalam perbuatan-perbuatan yang diridhoi oleh-Nya.

Daftar Pustaka

https://radhitisme.blogspot.com/

https://maps.google.tn/url?q=https://radhitisme.blogspot.com/

https://maps.google.to/url?q=https://radhitisme.blogspot.com/

https://maps.google.tt/url?q=https://radhitisme.blogspot.com/

https://maps.google.vg/url?q=https://radhitisme.blogspot.com/

https://maps.google.vu/url?q=https://radhitisme.blogspot.com/