Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Revolusi Mental Sebuah Retorika Politis

Konsep dasar istilah Revolusi Mental

Revolusi Mental

Revolusi mental, dua kata yang saat ini sudah akrab di telinga masyarakat sejak kampanya pilpres 2014. Sebuah kerangka program yang mampu memenangkan hati banyak orang sehingga mampu memenangkan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2014-2019. Yaaa, tentu saja euforia revolusi mental ini membuat masyarakat menaruh harapan tinggi terciptanya Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera serta mandiri. Namun hingga saat ini revolusi mental masih sekedar retorika, dari Sang Presiden.

Istilah ‘Revolusi Mental’ telah banyak dipakai dalam sejarah filsafat dan politik baik di peradaban Barat maupun Timur. Dengan mendefinisikan ‘mental’ sebagai ‘segala sesuatu yang berkaitan dengan cara berpikir’, revolusi mental dapat diartikan secara umum sebagai suatu perubahan besar terhadap pemikiran-pemikiran dasar manusia yang terjadi dengan cepat.

Pemikiran idealis seperti ini memang sangat rentan menjadi slogan kampanye, meskipun seperti itu sepertinya masih banyak masyarakat yang menunggu realisasinya. Pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya juga berupaya tidak memperlakukan revolusi mental hanya sekedar slogan belaka. Berbagai konsolidasi dan penajaman konsep telah dilaksanakan, namun hanya sebagian pihak saja yang mampu merealisasikannya. Hal ini terlihat hingga sekarang tidak terasa gebrakan revolusi mental yang 'menggairahkan' masyarakat. Sang Presiden terpilih sepertinya telah kehilangan ciri atau karakter yang menjadi daya pikat rakyat. Padahal, jargon revolusi mental telah menjadi trademark Pemerintah Jokowi-JK. Sebaiknya Pemerintah kembali ke nilai-nilai revolusi mental yang sebenarnya, bukan membiarkan diri terombang-ambing hasutan politik.

Memahami Istilah "Revolusi Mental"

Hakikat dasar revolusi mental adalah 'mengembangkan nilai-nilai'. Agar perubahan revolusioner, nilai yang dikembangkan tidak boleh terlalu banyak dan harus bersifat 'strategis instrumental'. Hal ini berarti bila dikembangkan bisa mengangkat kualitas dan daya saing bangsa secara keseluruhan.

Nilai-nilai tersebut tidak perlu disakralkan dan harus bersifat lintas agama agar tidak memunculkan perdebatan antargolongan. Revolusi mental baiknya tidak menargetkan sebuah moralitas pribadi seperti kesalehan individu, kerajinan menjalankan ibadah, dan sebagainya. Namun lebih diarahkan untuk membenahi moralitas publik, seperti disiplin di tempat umum, membayar pajak, tidak korupsi, tidak menghina maupun menganiaya kelompok lain, dan masih banyak lagi aspek lainnya. Moralitas pribadi memang penting, tetapi sebaiknya masuk ke ranah privat dan ranah agama. Revolusi mental cukup masuk ke dalam ranah publik.

  • Pertama : Nilai awal yang harus dikembangkan adalah nilai kewargaan, agar setiap masyarakat tidak merasa hanya menjadi 'penduduk' namun 'warga negara' yang mempunyai hak dan kewajiban. Terdapat keseimbangan antara peran pemerintah untuk hadir melayani dengan peran masyarakat madani yang taat dengan hukum. Nilai kewargaan ini juga mencakup pengembangan identitas nasional.
  • Kedua : Nilai yang perlu dibangun adalah nilai kejujuran. Banyak orang melakukan kebohongan publik saat ini. Maka, perlu dibangkitkan lagi integritas ini di kalangan rakyat maupun birokrasi pemerintah, agar tercipta kejujuran publik dan Indonesia yang bebas dari korupsi.
  • Ketiga : Nilai kemandirian. Sebagai bangsa kita sekarang sangat tergantung dengan bangsa lain dalam segala aspek. Bangun kemandirian dengan membenahi kebijakan pembangunan dan regulasi.
  • Keempat : Nilai kreativitas. Sumber daya alam terbatas, namun kreativitas tidak terbatas. Karena itu, banyak bangsa berlomba mengasah kreativitasnya. Kebudayaan Nusantara sebenarnya amat kreatif, tetapi kini banyak kebijakan dan regulasi yang menghambat. Dengan revolusi mental kita harus bisa membangkitkannya kembali.
  • Kelima : Nilai gotong-royong inilah inti dari Pancasila, sebagai andalan bangsa sejak dulu kala. Tetapi, kita merasakan kemerosotan yang dahsyat baik di komunitas kecil maupun sistem ekonomi dan politik liberal,oligarkis dan monopolistik. Revolusi mental harus mengembalikan karakter gotong-royong dalam bentuk yang lebih modern.
  • Keenam : Nilai kesetiakawanan sosial. Kesetiakawanan sosial hakekatnya suatu kemauan untuk bersatu dalam solidaritas sosial, kesamaan nasib, dan keinginan menjadi makluk sosial yang saling peduli dan berbagi dalam membangun persaudaraan sejati, persaudaraan masyarakat majemuk Indonesia berbudaya Pancasila. Kepentingan pribadi diletakkan dalam kerangka kesadaran atas kewajiban sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Saat ini perasaan empati, kepedulian sosial dan saling berbagi sebagai ekspresi kesetiakawanan sosial mulai memudar, bergeser kearah sistem perilaku prokelompok eksklusif dan individualis di lingkungan masyarakat. Hal ini pada akhirnya akan memudarkan rasa solidaritas yang akan menganggu stabilitas keamanan nasional.
  • Ketujuh : Nilai saling menghargai. Sebagai bangsa majemuk, kelangsungan hidup bangsa Indonesia sangat bergantung pada nilai ini. Namun, kita menyaksikan saat ini toleransi dan kesetiakawanan sosial semakin merosot. Kelompok-kelompok ekstrem saat ini tanpa malu-malu menunjukkan bahwa mereka tidak mau menerima kehadiran kelompok lain yang berbeda agama, ras, dan suku. Revolusi mental harus mampu membangun toleransi dan saling menghargai hal ini.

Konsolidasi dan kesepakatan secara nasional menjadi hal yang sangat penting, sebab revolusi mental membutuhkan fokus dan komitmen. Memang masih banyak nilai lain yang penting, namun kita harus memilih yang paling strategis dan dibutuhkan. Hanya dengan cara itulah revolusi mental secara nasional dapat terlaksana. Bangsa seperti Korea dapat dijadikan contoh, dengan gerakan Saemaul Undong yang terdiri dari tiga nilai saja (kerjasama, kemandirian, dan kerja keras)dapat berhasil karena dilakukan secara konsisten dan persisten.

Retorika Menuju Realitas

Guna merealisasikan konsep revolusi mental, pelaksanaan setiap kegiatan harus memiliki prinsip yang jelas. Revolusi mental bukanlah proyek pemerintah, tetapi gerakan masyarakat yang difokuskan pada pengembangan tujuh nilai strategis diatas. Harus ada komitmen dari pemerintah yang ditandai dengan terwujudnya reformasi birokrasi untuk mendorong dan memfasilitasi perubahan sikap dan perilaku masyarakat.

Gerakan revolusi mental harus dilaksanakan secara lintas sektor dan partisipatoris. Salah satunya dengan penanaman nilai secara berkesinambugan melalui kampanye, aksi sosial, media sosial, film, games, dan pengumuman secara terus menerus di tempat-tempat umum seperti ajakan untuk tetap antre, menjaga kebersihan, dan lainnya. Desain program harus mudah dilaksanakan, populer bagi semua usia, dan sesuai dengan karakter budaya lokal.

Kita harus berubah saat ini, sebab bangsa-bangsa lain sudah jauh lebih maju. Revolusi mental perlu segera dipersiapkan pelaksanaannya, bukan untuk dikaji secara berkepanjangan atau bahkan diperdebatkan. Revolusi mental merupakan janji suci,diharapkan dengan menjalankan nilai nilai tersebut, revolusi mental bukanlah sebuah retorika politis Sang Presiden pilihan rakyat.