Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

NEGARA TEOKRASI INDONESIA : Tinjauan Terhadap Kondisi Demokrasi Kita

Apakah Indonesia adalah negara teokrasi ?

Kondisi umum, sistem pemerintahan Negara yang sangat popular kini adalah monarki konstitusional, teokrasi dan demokrasi. Negara-negara kerajaan seperti Malaysia, Jepang, dan Inggris merupakan contoh Negara monarki konstitusional. Beberapa kerajaan di daerah Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Iran termasuk Negara penganut sistem teokrasi. Yang terbanyak dianut sekarang ini adalah sistem demokrasi, walaupun masih sebatas dalam ungkapan resmi saja.

Lalu, Bagaimana dengan Indonesia? Sejak merdeka, Indonesia mengklaim dirinya bukan sebagai negara monarkhi, baik monarki absolut maupun monarkhi konstitusional, karena tidak mengenal raja sebagai pemimpin negara tertinggi di negeri ini. Kita juga menolak disebut sebagai negara teokrasi, karena tidak ada pengakuan secara tersurat bahwa kita mengakui kepemimpinan berdasarkan aturan agama apapun. Kita dengan tegas selalu menempatkan diri dalam kelompok negara dengan sistim pemerintahan demokrasi. Namun, benarkah demikian? Sudahkah negara ini menjalankan sistim pemerintahan demokrasi yang sesungguhnya? Berikut ini adalah analisa umum tentang sistim pemerintahan Indonesia dalam prakteknya.

Untuk menganalisa realitas sistim pemerintahan Indonesia, sebaiknya kita tinjau sekilas pengertian dan unsur-unsur penunjang dari sistim teokrasi dan demokrasi. Istilah teokrasi diserap dari bahasa Yunani, theos (tuhan) dan kratein (memerintah), yang terjemahan bebasnya: pemerintahan tuhan. Kata demokrasi juga dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratein, dan diartikan sebagai: pemerintahan rakyat.

Dalam sistim pemerintahan tuhan, negara teokrasi dipimpin oleh seseorang atau sekelompok orang dari golongan pemimpin agama (clergy) dan menjalankan ketentuan agama yang diakui negara dalam pemerintahannya. Pada beberapa negara tertentu, pemimpin negara ini malah dianggap sebagai wakil tuhan atau bahkan terkadang jelmaan tuhan. Konsekwensinya, pemimpin negara adalah dari kalangan agamawan. Ketentuan yang dijalankan adalah amanah tuhan yang tersurat dalam kitab suci dan diperuntukan untuk rakyat. Sehingga rakyat tidak lebih sebagai kelompok penderita dan menerima apa adanya segala ketentuan dan kebijakan dalam negara. Karena undang-undangnya dari tuhan, maka sudah sewajarnya bila peraturan-peraturannya ditujukan hanya untuk kalangan warga negara yang percaya pada kitab suci agama tersebut.

Sebaliknya, dalam negara demokrasi dengan slogan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, segalanya ditentukan oleh rakyat. Pimpinan dipilih dari antara rakyatnya, pemilihan dilakukan oleh rakyat, dan dia mengabdi untuk rakyat. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah mempedomani ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh rakyatnya dan ia akan dinilai serta dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat menggunakan ukuran yang dibuat oleh rakyat itu sendiri. Pemimpin bisa bergantian dengan anggota masyarakat yang lainnya sesuai mekanisme yang dibuat oleh rakyat tanpa diskriminasi agama, jenis kelamin, dan lain-lain. Setiap individu dalam masyarakat memiliki hak yang sama secara individual dan dihormati oleh negara tanpa kecuali. Tidak terdapat pembedaan dalam mengakomodasi kebutuhan rakyatnya, tidak perlu mayoritas-minoritas, besar-kecil, kelas atas – kelas bawah, dan sebagainya.

Dari penjelasan istilah teokrasi dan demokrasi di atas, secara singkat kita dapat menentukan beberapa unsur utama dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dari dua sistim tersebut. Setidaknya ada tiga unsur yang dapat dikemukakan di sini, yaitu faktor penguasa, ketentuan perundangan, dan sasaran pemerintahan. Pada negara teokrasi, penguasa negara lebih dominan ditentukan oleh pengaruh keagamaan tertentu, sedangkan pada sistim demokrasi lebih ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk memikul tanggung jawab memenuhi keinginan rakyatnya.

Peraturan perundangan dan kebijakan pemerintahan negara teokrasi berdasarkan kitab suci, sebaliknya pada negara demokrasi, undang-undang adalah cerminan aspirasi seluruh rakyatnya. Sasaran implementasi pemerintahan negara teokrasi dan demokrasi adalah sama yakni rakyat. Perbedaanya, di negara teokrasi yang dianggap rakyat adalah mereka yang secara sadar tunduk dan taat pada ketentuan hukum kitab suci agama yang dianut negara, sedangkan pada negara demokrasi hal itu tidak dikenal.

Kenyataanya di Indonesia, pemilihan kepemimpinan negara masih didominasi oleh pengaruh kelompok keagamaan. Bahkan secara sadar atau tidak, kita sering terjebak pada ketentuan agama tertentu untuk menentukan memenuhi syarat atau tidaknya seorang calon pemimpin, seperti yang dialami oleh mantan presiden Megawati dengan polemik wanita tidak boleh menjadi pemimpin dalam agama Islam. Secara tersirat, ketentuan bahwa calon presiden RI harus beragama Islam juga sangat kental, tapi tidak disuarakan. Ada keyakinan bahwa bila saja terdapat kandidat presiden non-muslim hal ini akan menjadi perbincangan hangat tentang sah tidaknya sang calon karena agamanya. Argumen yang mungkin mengemuka: wajarkah kaum muslimin dipimpin oleh non-muslim? Sama persis seperti, mungkinkah seorang non-muslim menduduki jabatan menteri agama Indonesia? Realitas ini menunjukkan bahwa Indonesia cenderung menganut sistim teokrasi.

Sebagian besar produk hukum dan kebijakan negara, baik ditingkat nasional maupun daerah, juga merupakan bukti implementasi sistim teokrasi. Sebut saja yang paling jelas terang benderang: syariat Islam dengan beragam bentuk dan wujudnya. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang urusan haji, yang justru merupakan pengejawantahan “keinginan tuhan” yang tertuang dalam kitab suci agama Islam.

Perda-perda juga tidak luput dari distorsi “menjalankan perintah tuhan”, seperti peraturan hukum cambuk di Aceh dan perda larangan keluar malam di Tangerang. Yang paling aktual dan santrer diperdebatkan saat ini, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang jelas-jelas hanya mengakomodasi ketentuan tuhan dalam agama Islam merupakan calon UU penambah deretan ketentuan hukum negara teokrasi.

Dalam percakapan sehari-hari, baik resmi kenegaraan maupun tidak resmi, terdapat banyak sekali ikon dan ungkapan “hukum tuhan” yang digunakan pemerintah dan politisi. Sebut saja “Indonesia sebagai negara agamis”, atau yang lebih spesifik “daerah A identik dengan Islamnya”, “Kota B adalah kota Beriman” (kota lainnya tidak beriman?), dan lain-lain. Simbol-simbol keagamaan juga sangat kental dalam koridor pemerintahan kita. Juga, pada setiap UU, PP, Kepres, dan seterusnya pasti terdapat kalimat ini: “Dengan Rahmat Tuhan Yang maha Esa” pada awal konsiderannya.

Contoh-contoh tersebut sesungguhnya merupakan perlambangan Indonesia yang ingin mengatakan bahwa kita berdiri sebagai suatu negara dan menjalankan pemerintahan kenegaraan dengan fungsi utama untuk menjalankan pemerintahan tuhan di nusantara, sehingga semua ketentuan-ketentuan yang ada harus mengakomodasi keinginan tuhan. Celakanya, keinginan tuhan yang dituangkan dalam buku suci agama tertentu saja yang dijadikan pedoman, kitab suci agama lain dianggap tidak ada.

Keadaan ini dinilai banyak kalangan lebih diakibatkan oleh sistim perpolitikan kita yang amat kental dipengaruhi kaum elit agama tertentu. Kelompok ini dapat dianggap sebagai perwujudan “utusan tuhan” sehingga seakan memiliki legitimasi untuk mendiktekan “pesan tuhan” kepada pemerintah dan masyarakat, semisal melalui fatwa, doktrin, somasi, dan lain-lain. Tentu disertai bumbu penutup: bila pesan tuhan ini diabaikan, kesengsaraan dan kutuk dari langit akan menimpa bangsa ini.

Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa demokrasi kita sesungguhnya baru pada tahap demokrasi “kulit luar”, belum menerapkan „nurani demokrasi“ yang sesungguhnya, yang melihat esensi warga negara sebagai individu yang perlu diperhatikan, dilindungi dan diakomodasi kepentingan hidupnya sebagai individu oleh negara. Yang sudah kita lakukan masih sebatas pada pemaknaan demokrasi sebagai multi partai, suara mayoritas, dan kepentingan mayoritas.

Keadaan tersebut dapat saja berdampak positif dan baik. Namun dilemanya, struktur sosial dan politik masyarakat kita yang masih dominan dikungkung oleh ketentuan dogmatis keagamaan tertentu, mengalahkan akal sehat untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama dalam pluralitas. Akibatnya, pola pemerintahan negara yang tercipta mengikuti trend ketentuan dogma agama tertentu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara teokrasi berbungkus kulit demokrasi, negara pelaksana ketentuan tuhan yang cenderung mengingkari pluralisme rakyatnya. Kenyataan ini tentu saja merupakan pengingkaran sejarah pembentukan negara pada awalnya karena Indonesia hakekatnya dibentuk atas dasar kesepakatan bersama (kontrak sosial) rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke melalui wakil-wakilnya, para pejuang kemerdekaan waktu itu. Kontrak sosial tersebut, sebagai dasar kehidupan berdemokrasi suatu negara, telah kita ganti dengan “pesan-pesan tuhan” dari kelompok agama tertentu.