Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cinta Pereda Konflik !!! Baca Artikel Ini

Cinta sebagai pereda konflik sosial

Cinta adalah kunci kedamaian, keindahan, kenikmatan, serta yang memberi manusia akan kebahagiaan yang sesungguhnya dan sebenarnya. Cinta menyiram kehidupan manusia yang kering dan gersang. Membuat seseorang masih memiliki harapan dalam hidup. Minimal harapan untuk dapat memiliki cinta sejati. Melampaui zaman pencerahan, cinta memberikan cahaya yang luar bisa di dalam hati dan pikiran. Sehingga cinta sejati bukan sekadar keinginan untuk memiliki, bukan pula keinginan untuk mengurung sang kekasih dalam kekuasaan otoriternya, melainkan kesadaran untuk saling memberi, berkorban, dan berbuat apa saja hanya untuk kebahagiaan kekasih.

Ketika cinta itu bersemai, pertanyaan dasarnya, bagaimana dengan petengkaran dan perceraian yang terjadi dalam rumah tangga atau hubungan dua sejoli. Ternyata, pada kasus ini, cinta itu telah hilang. Pertengkaran yang terjadi telah membuktikan rasa cinta diantara mereka telah pupus, hancur, dan hilang. Cinta bisa meredam pertikaian sedahsyat apapun. Karena bila cinta itu masih ada, seseorang tak akan sanggung melukai, berusaha menekan ketegaan, sehingga melakukan apa pun untuk mempertahankan cinta itu.

Kekuatan cinta melebihi batas-batas ruang dan waktu. Jika cinta itu lekat di hati, maka sampai kakek-nenek pun dua sejoli tetap akan membawa suasana romantisme. Bahkan kematian terkadang tak menyurutkan cinta, orang bersedia menduda atau menjanda seumur hidup demi cintanya pada kekasih yang telah meninggal.

Tak akan mungkin ada konflik, jika cinta itu tumbuh subur di dalam kehidupan manusia. Cinta melahirkan inspirasi kehidupan bagi manusia, menciptakan malaikat jelita penjaga jiwa dan hati manusia. Suatu cinta yang tegak laksana cahaya mercusuar biru menunjukkan jalan yang membimbing manusia tanpa sinar yang tampak. Tak kan ada pertikaian, tak kan ada permusuhan, tak kan ada perkelahiran, tak kan ada pertarungan, semuanya jika cinta masih dimiliki oleh manusia. Ternyata cinta sejati tak hanya kepunyaan dua sejoli yang berpadu kasih saja, melainkan ia dimiliki oleh sebuah keluarga. Kecintaan bunda pada anak, tak akan bisa diuraikan dengan bahasa apapun. Tak ada bahasa yang mewakili untuk menggambarkan betapa kasih sayang dan rasa cinta bunda pada anak begitu besarnya.

Beliau memberikan cintanya setulus ia mencintai dirinya, bahkan lebih. Mulai dari kita dilahirkan di dunia, kita disusui, dibesarkan dengan kasih. Beliau dengan alasan yang tak jelas menyekolahkan kita, mendidik kita, berusaha membimbing kita. Bunda, terkadang engkau otoriter, jauh di hati, tetapi kasihmu tetap terasa bagi orang-orang yang mampu melihat betapa besarnya jasa seorang bunda pada kita. Sahabat, pacar, guru, dan orang-orang yang berlalu-lalang di kehidupan kita, mereka adalah orang-orang yang sementara membantu kita. Temen SD lulus berpisah, teman SMP lulus berpisah juga, temen SMU lulus berpisah. Hanya faktor kebetulan dan ketidak-sengajaan saja, mereka satu sekolah lagi dengan kita. Tetapi orang-tua, bunda selalu ada dan orang yang paling sedih ketika kita sakit. Orang yang menanggis ketika kita kesusahan. Dan orang yang merasa paling bertanggung-jawab atas kehidupan kita.

Orang yang selalu menginginkan kita jadi yang terbaik tanpa menaruh rasa iri. Itulah, bunda. Cintanya sedalam samudra dan setinggi langit, bahkan melewati perbatasan semesta alam ini. Cinta ita pada saudara juga cukup mendasar. Orang tak merasakan betapa berharganya saudara, tetapi jika ia jauh, ia kesusahan, kita adalah orang yang paling peduli akan kondisinya. Adik dan kakak, kita sangat mencintaimu. Inilah kisah-kasih singkat tentang cinta. Pendeknya, konflik tak akan mungkin terjadi, jika kita mencintai orang yang lebih tua sebagaimana cinta kita pada orang tua dan mencintai orang yang sebaya atau lebih muda sebagaimana kita mencintai saudara kita.

Konflik Psikologis

Tenyata setelah saya baca beberapa buku tentang psikologi, terdapat berbagai macam konflik di dalam diri. Yaahh..mungkin aja udah ada dari lama tapi saya baru tahu…hehe…Okey gapapa dilanjutin lagi yap analisisnya.

Umpamanya jika pendapat Freud tentang psikoanalisis, ternyata manusia memiliki ”konflik di dalam dirinya sendiri”. Freud menyebutkan, perception about human behaviour. Freud states that human behaviour is determined by the irrational power which is not aware of biological motivation and motivation of certain psychological sexual. Freud menyatakan perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan tidak logis yang mana tidak peduli akan motivasi biologi dan motivasi dengan seksual psikologis, the structure of human personality consists of idea, ego and superego; Struktur dari kepribadian manusia terdiri dari ide, ego dan superego; Consciousness and unconsciousness kesadaran dan keadaan tidak sadar; worries kekuatiran; mechanism how to defend ego, mekanisme bagaimana caranya mempertahankan ego; dan terakhir, the development of individuality pembangunan dari ciri khas.

Berdasarkan ajaran kunci Freud di atas, maka pertautan antara alam sadar (conscience mind) yang selalu menekan alam bawah sadar (unconscience mind) adalah konflik tersendiri di dalam diri manusia. Alam bawah sadar (unconscience mind) yang terdiri dari impuls-impuls, insting yang letaknya terdalam selalu di halang-halangi oleh alam sadar manusia (conscience mind). Proses penghalangan ini tak hanya dipengaruhi oleh watak logis-rasionalistik manusia, melainkan juga determinasi lingkungan sosial manusia. Masyarakat beserta hukum sosialnya selalu menghalang-halangi kemunculan alam bawah sadar manusia (unconscience mind).

Itulah konflik di dalam diri, yang memperlihatkan dua kubu alam bawah sadar (unconscienc mind) dan alam sadar (conscience mind). Biasanya orang menyebutnya secara sederhana dengan bahasa perang antara rasio dengan batin, keinginan dengan kewajiban, nalar dengan intuisi, dst. Bahkan di Filsafat ada hukum pertentangan: dialektika Hegel, diskursus Foucault, logika Aristotelian, dst. Dengan kata lain, konflik ternyata bukan berada di mana-mana, melainkan juga ada di dalam diri, pikiran.

Beranjak dari gagasan Freud menuju ke konsepsi psikologi sosial. Dean G. Pruilt dan Jefrey Z Rubin berangkat dari pemikiran Darwin, Freud, dan Marx mengungkapkan bahwa terdapat tiga kabar gembira dari kemunculan konflik. Pertama, konflik sebuah persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial. Kedua, konflik memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Dan ketiga, konflik dapat mempererat tali persatuan kelompok.

Perubahan seperti apa yang di kemukakan oleh Dean G. Pruilt dan Jefrey Z Rubin memang harus berjalan. Namun bukan konflik konfrontasi dalam skala tertinggi dan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan revolusi etis bisa dimaknai sebagai perubahan radikal tanpa anarkhisme dan pengebirian kelompok ideologi tertentu dengan kelompok lain, melainkan sebuah usaha menolak kemapanan dengan sikap intelektualis dan reformis. Ada dua efek yang secara bersamaan timbul dalam aksi perubahan, yakni pengbongkaran dan penciptaan. Dengan dibingkarnya rezim yang telah mapan dalam rangka mencari kebenaran, di saat yang bersamaan secara alamiah penciptaan (rekontruksi) berlangsung. Bukan tidak mungkin perubahan bisa terjadi mengalami kemunduran ketimbang hasil yang lebih baik. Namun perubahan dengan tanpa eskalasi konflik yang di mungkinkan bisa di jadikan pedoman guna menyusun perubahan yang signifikan tanpa aksi kekerasan dan pemaksaan.

Masih dalam kerangka Dean G. Pruilt dan Jefrey Z Rubin kita menyaksikan pernyataan keduanya, memang cukup rasional jika konflik otomatis akan menggambarkan peta politik dan tatanan sosial. Peta politik dan tatanan sosial yang dikonstruksi berdasarkan kesamaan kepentingan dan kebutuhan kelompok yang bersangkutan. Namun tidak ada jaminan bahwa konflik tanpa penyelesaian bisa merekonsiliasikan kelompok-kelompok yang bersengketa. Yang ada hanyalah kemungkinan konflik yang kian meluas, bertahan dalam waktu yang lebih lama, dan menguras energi tanpa kemanfaatan utilitarianis. Ini juga menyangkut pernyataan Dean G. Pruilt dan Jefrey Z Rubin dalam item ketiganya yang tak dapat dimungkinkan apabila kelompok bersatu erat lantaran adanya sebuah konlik yang mendahuluinya, justru malah konflik-konflik baru yang muncul dari konflik awal, memisah dan memecahkan persatuan dan solidaritas sosial masyarakat.

Dalam termnologi psikologi sosial, dipahami bahwa konflik dalam masyarakat berangkat dari sistem kesadaran kolektif sebagai faktor pemicu spiral kekerasan dan konfrontasi.

Sedikit Teoritik-lah

Menurut Teori Konflik dalam sosiologi, tindakan manusia yang terlibat dalam peristiwa sosial dan politik, sosial ekonomi dan bidang-bidang lainnya selalu ada konflik. Seorang Sosiolog bernama, Matindale mengatakan bahwa Teori konflik adalah ciptaan manusia yang mengalaminya. Teori konflik sebenarnya merupakan teori yang berusaha untuk mengkritisi Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons yang memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan yang seimbang (equiliribium) yang cenderung statis dan tertutup. Para pengamat politik dan sosial menekankan pentingnya konflik dalam kehidupan manusia. Pada abad 18-an para pemikir ekonomi menjadikan konflik sebagai pusat teori mereka. Konflik antara kepentingan individu dan kepentingan sosial dijadikan dasar penciptaan Teori Ekonomi oleh Adam Smith.

Ralf Dahrendorf membangun teori hubungan antara konflik masyarakat dan perubahan. Dahrendorf mengatakan bahwa seluruh kreativitas, inovasi dan perkembangan dalam kehidupan individu, kelomoknya dan masyarakatnya, disebabkan terjadinya konflik antara kelompok dan kelompok, antara individu dan individu serta antara emosi dan emosi di dalam diri individu. Menurut Dahrendorf, konflik sosial mempunyai sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Inti pemikiran Dahrendorf adalah sebagai berikut:

Pertama, Setiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses perubahan; perubahan terjadi di mana saja. Kedua, Setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik; konflik sosial terdapat di mana-mana. Ketiga, Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya. Keempat, Setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian anggotanya terhadap anggota yang lain. Secara ringkas Dahrendorf mengatakan bahwa konflik kelas menyebabkan perubahan struktural dan merembes sehingga terjadi di mana-mana.

Teori resolusi konflik antara lain sebagai berikut : teori identitas, teori hubungan masyarakat, teori negosiasi prinsip, teori kesalah-pahaman, teori tranformasi, teori kebutuhan manusia. Teori identitas menekankan bahwa penyebab konflik bermula dari sekelompok orang yang merasa identitasnya terancam oleh kelompok lain. Sehingga untuk menyelesaikannya harus melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antar wakil-wakil kelompok yang mengidentifikasi ancaman-ancaman hingga pada pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak. Dengan demikian, jika teori ini di aplikasikan ke dalam duduk persoalan yang kita geluti maka pelaksanaannya haruslah menuntut para aktor konflik bersedia menanggalkan identitas sementara yang sebenarnya telah ditunggangi kepentingan politik untuk mencapai sebuah kesepakatan damai. Janganlah sampai identitas yang berasal dari heteroginitas yang harmonis dijadikan kedok tersembunyi bagi kepentingan-kepetingan yang hendak merusak ketentraman masyarakat adat. Padahal konflik yang berkepanjangan justru malah banyak merugikan masyarakat, pemerintahan lumpuh, energi terbuang sia-sia, pembangunan terhambat dst.

Selanjutnya, teori hubungan masyarakat melihat konflik yang disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, adanya ketidakpercayaan dan revitalitas kelompok dengan masyarakat. Inilah yang kita saksikan dalam konteks pertikaian pilkada Maluku Utara, semula masyarakat yang terfragmentasi dalam lingkup etnis, ras, sistem kepercayaan yang sangat berbeda, setelah fragmen itu mapan, eksistensinya diperkuat oleh fragmen yang ditambahkan lagi melalui perpecahan akibat proses politik, yakni pilgub, masyarakat adat terbagi ke dalam kubu-kubu pendukung pasangan calon yang saling berhadap-hadapan. Maka dengan demikian, konflik tersulut dengan sangat mudah apabila sentimen-sentimen antarkelompok ditumbuhkan di balik kedok politik busuk para elitnya. Pengembangan toleransi agar masyarakat mau menerima keberagaman adalah suatu hal yang sebelumnya dikuatkan terlebih dahulu.

Sementara, teori negosiasi prinsip disebabkan posisi yang tidak seimbang antarkelompok masyarakat yang menciptakan struktur hirarkhis tertentu. Teori kesalah pahaman menjelaskan adanya ketidak cocokan dalam berkomunikasi di antara orang-orang yang memiliki latar-belakang yang berbeda-beda. Sedangkan teori tranformasi disebabkan oleh ketidak-adilan sosial oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan sosial. Terakhir adalah teori kebutuhan manusia yang menerangkan penyebab konflik berasal dari kebutuhan manusia yang tidak terpenuhi. Kesemua teori resolusi konflik ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan ”komunikasi”, entah itu dengan mediasi, negosiasi, loby, dst.

Sedangkan, bagaimana menyikapi konflik yang terjadi antarnegara dengan masyarakat. Mengingat betapa banyaknya lembaga negara yang saling menunjukkan eksistensi mereka, sementara masyarakat berada di antara perhelatan kepentingan dan tak jarang mereka melontarkan protes dan kekecewaan antara satu sama lain. Kebiasaan negara menjalankan sistem kebijakan top down sangatlah berimplikasi buruk pada hubungan negara dengan masyarakatnya. Sehingga bukannya bottom up, melainkan dengan kekuatan memaksa (coercive power) menjadi modus operandi yang selama ini keliru besar. Untuk menjaga keharmonisan relasi antara negara dengan masyarakat, negara perlu mengindentifikasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masyarakat, sehingga bahan-bahan identifikasi dapat dipergunakan untuk merumuskan keputusan yang tidak bermuatan konflik dengan masyarakat lokal.

Hukum Hanya Peredam Konflik Sementara

Maka teori yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini adalah Teori Bekerjanya Hukum yang dikemukakan oleh William J. Chambliss dan Robert B. Seidman. Bekerjanya hukum dalam masyarakat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu: Lembaga Pembuat Hukum (Law Making Institutions), Lembaga Penerap Sanksi (Sanction Activity Institutions), Pemegang Peran (Role Occupant) serta Kekuatan Sosietal Personal (Societal Personal Force), Budaya Hukum (Legal Culture) serta unsur-unsur Umpan Balik (Feed Back) dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan. Sehingga dengan demikian, elemen-elemen yang menjadi komponen penting dalam hukum akan mengejawantahkan ketertiban dan keteraturan.Bentuk lain dari produksi ketertiban dan keteraturan itu adalah peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Dalam konteks demikian peraturan perundang-undangan tidak mungkin muncul secara tiba-tiba pula. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu. Saat ini sudah berkembang suatu cara pandang kritis terhadap hukum atau Critical Legal Study (CLS). Cara pandang ini didorong oleh suatu Gerakan Studi Hukum Kritis (GSHK) sekitar tahun 1970-an yang salah satu tokohnya adalah Roberto M. Unger. Kalangan CLS berangkat dari titik tolak yang berbeda dengan teori hukum liberal. Gerakan CLS berpandangan bahwa “law is as negotiable, subyejective dan policy-dependent as politics.” Hal ini adalah realitas bahwa hukum dalam praktik pendayagunaannya tidak selalu bertolak dalam premis normatif yang telah selesai disepakati bersama, baik dalam pembentukan undang-undang positif (in abstracto) maupun dalam penerapannya (in conreto). Menurut CLS tidak mungkin memisahkan politik dan pilihan-pilihan etik dengan hukum berdasarkan argumen obyektifitas dan netralitas hukum, sebagaimana dikembangkan oleh teoritisi hukum liberal. Melalui pendirian ini, kalangan CLS ingin mengedapankan analisis hukum yang tidak hanya bertumpu pada segi-segi doktrinal semata—yang mengandalkan metode deduktif (lewat silogisme logika formal), tetapi juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor luar doktrin hukum seperti pengaruh faktor sosial, politik dan ekonomi dalam proses pembuatan dan penegkan hukum. Dengan titik tolak seperti ini tampak sangat sulit untuk mengatakan bahwa hukum itu bersifat netral dan obyektif, baik dalam proses pembuatannya maupun proses aplikasi (interpretasinya). Jauh lebih dapat diterima memandang hukum sebagai suatu produk yang tidak netral karena senantiasa ada konflik kepentingan-kepentingan bahkan perebutan kepentingan ersembunyi yang difasilitasi hukum.

Ya, pada akhirnya, tetap saja hukum berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial (as a tool of social control) hukum kata Roscou Pound.

Haduh..ko repot-repot ya, apalah arti dari semua teori, kesalahan pada tulisan ini yang menampilkannya, hehehe…tetapi hal itu hanya untuk pra-syarat kalau di dalam paradigma sains positivistik model itu sangat diagung-agungkan, dikultuskan, dan di dewa-dewakan. Tetapi sesungguhnya hanyalah “cinta” yang mampu menangulangi konflik . . Bener ga . . ???.