Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yang Diinginkan Zionis Israel - Berdasarkan teori Big Bang atau Teori Chaos

Ini dia alasan Israel menjajah Palestina, baca artikel lengkapnya

Apa yang menyebabkan Israel menyerang jalur Gaza dengan sangat brutal??Apakah para pejabat tinggi Israel berfikir, walaupun hanya untuk sejenak, bahwa serangan-serangan militer mereka dapat mengehentikan, atau malah mengintensifkan, serangan roket maupun tindakan-tindakan kekerasan pembalasan dari pihak Palestina??Sebenarnya, apakah kekerasan dari pihak Palestina sangat terkait dengan tindakan Israel??Apakah pembunuhan mambabi-buta yang dilakukan oleh Israel di Jalur Gaza, sepenuhnya terkait dengan konteks Gaza adalah Hamas, ataukan sebenarnya dimensi regional yang lebih luas yang sebenarnya dituju oleh Israel??.

Dalam sebuah diskusi di saluran TV Al-Jazeera versi bahasa Inggris, seorang jurnalis Israel Gideon Levy dan ketua editor Koran Arab al-Quds Abdul Bari Atwan, berupaya untuk menguraikan tindakan Israel di Gaza. Levy menjelaskan bahwa Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak, ingin menunjukkan kepada public Israel bahwa ia “sedang melakukan sesuatu” terkait dengan serangan roket terus menerus dari Gaza. Meski Levy tidak menjustifikasi tindakan tidak manusiawi dan logika sesaat pemerintah Israel itu, ia tidak sepakat dengan Atwan terkait pengunaan sebuah istilah. Atwan merupakan seorang jurnalis terkemuka di kawasan Timur Tengah, sebelumnya menyatakan bahwa pembunuhan di Gaza melambangkan sebuah bentuk “genosida” dan “pembersihan etnis”.

Para intelektual Arab sebelumnya seringkali berhati-hati dalam pengunaan beberapa istilah tertentu, karena aspek perasaan Barat yang tidak dapat menerima asosiasi Israel dengan genosida dan pembersihan etnis. Namun saat ini mereka lebih percaya diri. Hal ini terjadi setelah Deputi Menteri Pertahanan Israel, Matan Vilnai, memperingatkan warga Palestina dalam sebuah wawancara radio, mengenai kemungkinan terjadinya “Holocaust yang lebih besar”.

Mengesampingkan peristilahan tersebut, apakah kita benar-benar percaya bahwa pembunuhan tanpa alasan yang terjadi di Jalur Gaza merupakan sebuah pelanggaran hukum internasional dan hukum humaniter, yang ditujukan untuk mengirimkan pesan kepada public Israel, atau sungguh-sungguh untuk melakukan sebuah tindakan genosida??.

(Jika memang hal ini terjadi demikian, mari kita lihat respon dari pihak otoritas Palestina sendiri).

Pada awalnya, walaupun tidak mengejutkan, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, seperti terlupa, dan kemudian setidaknya bersikap netral, terhadap pembunuhan besar-besaran tersebut. Pertama-tama, ia meminta kedua belah pihak, Israel dan Hamas, untuk menghentikan kekerasan mereka, dan kemudian menuduh Israel berusaha untuk “menggelincirkan” proses perdamaian (proses perdamaian apaan??). Pada akhirnya, dan syukurnya setelah Vatikan mengutuk tindak pembunuhan yang dilakukan Israel, Abbas pun mengumumkan penghentian semua kontak dengan Israel.

Beberapa hari kemudian, setelah kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Condoleezza Rice ke wilayah tersebut, Abbas membalikkan posisinya. Nabil Abu Rudeineh, Juru bicara kepresidenan Palestina, mengutip kata-kata Abbas bahwa “kami bermaksud untuk melanjutkan kembali pembicaraan perdamaian dengan Israel yang bertujuan untuk mengakhiri pendudukan”. Mengingat jumlah korban dari pihak Palestina yang sangat besar, yang disebabkan oleh upaya sengaja Israel untuk menciptakan sebuah “holocaust yang lebih besar,” kesepakatan Abbas untuk melanjutkan kembali pembicaraan yang sia-sia dengan orang yang sama yang memerintahkan –rekor– pembunuhan terhadap rakyatnya, sesungguhnya merupakan penghinaan bagi diri Abbas sendiri.

Meskipun semakin respon dari bangsa Palestina, Israel, dan dunia internasional terhadap kekerasan tersebut dapat diprediksikan, cara-cara pandang tersebut di atas, tidak dapat menjelaskan korelasi kejadian ini dengan variabel waktu. Dalam artian, [kenapa sekarang? Kenapa tidak dari dulu? Kalau memang sengaja dilakukan sekarang,] apa tujuan yang mendasarinya?.

Dalam analisis saya, secara historis, perilaku Israel, terlepas dari hasilnya, selalu motivasinya politis, dan tidak pernah tidak, selalu berkaitan dengan gambaran regional [strategis kewilayahan Timur Tengah] di dalam pikiran para perancangnya.

Terdapat dua aliran logika militer yang dianut oleh Israel. Yang pertama adalah aliran yang dimotivasi oleh “teori chaos,” gagasan di mana sebuah kejadian yang sepertinya minor, dapat berakumulasi kepada efek yang kompleks dan masif terhadap sistem dinamika alam (butterfly effect). Sebagai contoh, Gaza mungkin diserang dengan harapan dari Israel untuk memprovokasi serentetan aksi bom bunuh diri yang pada akhirnya akan dipersalahkan kepada Suriah dan Iran (sebagai perancang dan penyandang dana aksi tersebut) – yang dengan demikian akan memprovokasi terjadinya sebuah pertikaian besar di Lebanon. Terlebih, sejarah dari konflik Israel-Arab menunjukkan bahwa betapa banyak invasi besar dijustifikasi oleh kejadian-kejadian yang tampaknya tidak relevan, seperti perang Lebanon 1982.

Akan tetapi, apakah Israel mampu untuk mempertahankan konflik lain di Lebanon, setelah kegagalan yang menyedihkan dan merugikan pada bulan Juli-Agustus 2006 lalu?.

Nah, pada saat inilah peran Amerika Serikat menjadi lebih relevan. Sebab ketika serangan-serangan Israel menjadi kepala berita di seluruh dunia, kapal induk USS Cole dan dua kapal tambahan –termasuk satu jenis kapal serbu amfibi– secara diam-diam bergerak dari Malta menuju pantai-pantai Libanon. Menurut pejabat AL-AS, kapal-kapal tersebut dikirimkan sebagai sebuah “bentuk dukungan bagi stabilitas kawasan/regional.”

Apalagi, pada saat itu masa pemerintahan George W. Bush –pendukung Israel yang ambisius dan tidak pernah pikir panjang itu– akan segera berakhir, dan antusiasme publik untuk berperang melawan Iran semakin berkurang. Selain itu, Israel tidak akan pernah mengijinkan susunan regional menjadi teratur seperti ini: Hizbullah mendominasi Libanon Selatan dan Hamas mendominasi Gaza [kedua kelompok itu menghadap langsung perbatasan Israel], dan Iran menjadi power regional yang semakin berat.

Hal ini kemudian membawa kita kepada jalur logika militer Israel yang lainnya, yaitu teori “big bang.” Logika penjelas dari teori ini dapat diketahui manakala terjadi sebuah perang regional –yang dibarengi oleh peperangan sipil kecil di Palestina dan Lebanon, beserta upaya-upaya lain untuk mendestabilisasi Iran dan Suriah– yang dapat menguntungkan Israel.

Dengan tidak adanya alasan [bagi Amerika Serikat untuk menjauh dari kemungkinan keterlibatan/intervensi], akankah Amerika Serikat mampu untuk menjauh dari sebuah konflik semacam ini (mengingat kepentingan regional Amerika Serikat, sekutu-sekutunya, dan peperangannya sendiri di Irak). Pengungkapan atas peran yang menakutkan yang dimainkan oleh pemerintahan Bush dalam mengorganisasi dan memprovokasi perang sipil di antara mereka yang ber Kewarganegaraan Palestina, menunjukkan pada tingkatan manakah pemerintahan Bush sudi untuk bergerak demi pencapaian tujuan-tujuan Israel. Lebih jauh, hal tersebut juga menunjukkan kesudian berbagai pemain Arab dan Palestina untuk siap berpartisipasi di dalam petualangan Amerika Serikat-Israel yang berdarah-darah dan mahal.

Dengan segala hormat kepada Levy dan Atwan, saya pikir tujuan utama Israel bukanlah untuk mengirimkan pesan kepada publiknya ataupun untuk melakukan genosida –meski dua hal tersebut bukanlah kemungkinan yang tidak beralasan. Sebab, mayoritas dari publik Israel, menurut polling Tel Aviv University, berharap pemerintah mereka mau menegosiasikan genjatan senjata dengan Hamas, manakala bom-bom jatuh di atas kepala para penduduk Gaza, tanpa harapan. [Hal ini bertentangan dengan logika demokrasi, yang erat kaitannya dengan opini publik, yang di anut oleh sistem politik Israel].

Kenyataan-kenyataan bahwa AS-Israel berperan dalam kekacauan di Libanon, upaya konsisten untuk mendakwa Iran, dan provokasi dan serangan bom Israel atas Suriah –semua mengindikasikan bahwa rencana Israel ditujukan untuk kepentingan regionalnya, dengan Gaza sebagai proyek percobaannya –karena ia merupakan target yang paling murah untuk diisolir dan dibrutalisasi. Setelah Gaza menjadi camp-konsentrasi masif dengan populasi yang sebagian besar kelaparan, Gaza telah memberikan Israel sebuah peluang sempurna untuk mulai mengirimkan pesan yang keras kepada para pemain lain di kawasan tersebut.